Sabtu, 30 Desember 2006
Berfikir Tentang Saya di Masa Depan
Apa yang difikirkan oleh saya di masa depan?Ternyata banyak yang memikirkan bahwa seorang saya bukan manusia serius, bukan manusia yang memikirkan hidup, hanya bisa tertawa, menghina, memaki, merendahkan atau malahan sebaliknya...maksudku ditertawakan, dihina, dimaki dan direndahkan. Delapan belas tahun sudah hidup ini tapi saya sudah lupa berapa tahun saya remaja. Jauh sebenarnya dalam kepala saya bukan tentang bagaimana menghadapi masa remaja saya, bagaimana tentang saya bisa diterima oleh mereka yang saya inginkan menjadi teman...atau bagaimana tentang mempunyai predikat ”anda pasti mengenal saya”. Semua itu memang ada dipikiran saya, tapi cuma 1 milimeter dari kulit terluar otak saya. Tapi di intinya saya sangat memikirkan tentang bagaimana saya harus mempertanggungjawabkan hidup saya di depan orangtua saya.
Seorang saya bukan terlahir sebagai saya yang pintar meskipun seorang saya tidak menolak kalau sedikit banyak saya tahu...
Seorang saya bukan terlahir sebagai saya yang punya kepribadian yang patut dibanggakan meskipun seorang saya tidak menolak kalau saya bisa membuat anda mengeluarkan kata”bangga” atas kepribadian saya..
Tapi seorang saya sangat tidak bisa memprediksi jadi apakah seorang saya dimata orangtua saya... Saya belum 100% memikirkan kalau saya juga akan mempunyai kehidupan yang akan saya tanggung sendiri.Seorang pria yang pasti akan menduduki posisi teratas di sebuah rumah yang akan saya dirikan untuk istri dan anak-anak saya. Saya juga ingin orangtua saya ikut....sebenarnya...
Coba saya ingat apa saja yang sudah saya hasilkan untuk orangtua saya...hmm...uang? belum...prestasi? segelintir...apa lagi? sudah,itu saja ternyata...
Kadang kalau saya sedang memikirkan hal ini, tangan saya pasti mengacak rambut berantakan diatas kepala saya karena saya merasa atau tepatnya memang belum menjadi apa-apa untuk mereka. Padahal 18 tahun saya hidup, sudah lebih dari 18 kali saya mendengar betapa besarnya harapan orangtua saya tentang saya di masa depan... saya pun meng”amin”inya...tapi tidak meng”iman”inya, maksudnya, saya belum serius menjawab harapan-harapan itu...
Memang masa depan itu belum datang. Seorang saya sedang duduk di bangku kuliah menanti gelar sarjana sebagai password untuk harapan-harapan orangtua saya.
Tapi saya juga pernah memikirkan menjadi seorang yang sukses dengan kehidupan yang tidak susah, mendirikan usaha yang mendukung kehidupan saya, memiliki kehidupan yang selalu memuji Tuhan saya, mempunyai istri yang bertanggung jawab, anak-anak yang berhasil, dan semua ini akan saya rangkum dalam sebuah bungkusan berpita yang saya letakkan didepan mata orangtua saya sewaktu mereka bangun pagi di masa depan saya. Saya membayangkan betapa sempurnanya melihat orangtua saya menangis sampai tak terbendung lagi sewaktu ini semua terjadi di masa depan saya. Melihat mereka berdua berpelukan, dan mengatakan kalau mereka tidak sia-sia telah mempunyai seorang saya. Tentunya kata-kata ini seharusnya diluar pendengaran saya.
Coba saya bayangkan, saat itu di masa depan, mama saya akhirnya berdiri di depan saya, memeluk saya dengan kaki jinjit karena saya lebih tinggi. Saya harus menundukkan kepala saya supaya mama saya bisa mencium kening saya sambil memegang belakang kepala saya dan membisikkan bahwa dia bangga kalau anak ketiganya adalah saya.
Coba saya lanjutkan lagi, saat itu papa saya juga menghampiri saya yang masih dipelukan mama saya, juga membuat saya agak menunduk karena saya juga lebih tinggi darinya. Dia menempelkan kepalanya (yang mungkin di masa depan sudah beruban atau mungkin tidak berambut lagi). Mata saya tepat didepan mata papa saya dan telinga saya dengan senang mendengar perkataan papa saya yang mengatakan kalau hidupnya sudah tidak mempunyai beban lagi karena dia sudah melihat saya sebagai saya yang diharapkannya...Bangganya saya...
saya lanjutkan lagi, saya pamerkan pada istri saya kalau saya sudah menjadi seseorang buat orangtua saya dan saya menawarkan untuk menemaninya melakukan hal yang sama pada orangtuanya...mertua saya...
Sedikit lagi, saya memegang tangan anak saya (atau mungkin anak-anak saya) dan mengatakan bahwa dia (atau mereka) harus minimal seperti saya...seperti saya pada orangtua saya...dan akhirnya kami semua tertawa dengan mata yang terus basah...
Itulah apa yang saya namakan ”Berfikir tentang saya di masa depan”. Apa lagi yang lebih indah dari itu? Tunggu sampai suatu saat saya diberi satu harapan...pasti semua ini akan saya bacakan ulang sebagai satu harapan saya....di masa depan...AMIN...