Sebagaimana yang kita ketahui, perekonomian Indonesia tidaklah selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan dimana perekonomian Indonesia layaknya perekonomian negara-negara berkembang lainnya bahkan negara maju sekalipun ada kalanya mengalami ketidakseimbangan perekonomian. Sesuai apa yang dikatakan oleh Keynes, bahwa dalam perekonomian dibutuhkan peran serta pemerintah untuk melakukan interfensi penyeimbangan kondisi perekonomian. Dalam masalah harga misalnya, heterogenitas daya beli masyarakat Indonesia yang sebagian besar mempunyai rata-rata daya beli yang rendah mau tidak mau harus membutuhkan penyesuaian harga yang dapat membantu meningkatkan daya beli masyarakat sehingga semua lapisan masyarakat dapat mencapai tingkatan harga yang telah disesuaikan tersebut.
Begitu pula dengan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengalami peningkatan harga yang drastis yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Dengan daya beli masyarakat Indonesia yang rendah, sudah pasti akan menjadi kendala tersendiri bagi mayoritas masyarakat Indonesia untuk dapat mencapai harga yang cukup tiinggi tersebut. Dalam hal ini lah pemerintah menunjukkan perannya. Dengan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan mengalokasikan jumlah tertentu untuk menutupi tingginya harga BBM melalui kebijakan subsidi, pemerintah mengaharapkan bahwa daya beli masyarakat secara umum akan meningkat.
Memang kebijakan subsidi telah berhasil dalam hal meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, masalah tidak hanya berhenti disini saja. Masyarakat dari kalangan bawah secara mayoritas hanya membutuhkan BBM berupa minyak tanah dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari padahal pemerintah memberikan subsidi bukan hanya minyak tanah tetapi juga BBM untuk kendaraan bermotor. Sudah barang tentu dengan kondisi daya beli masyarakat yang didominasi oleh kalangan berdaya beli rendah, adalah hal yang cukup irrasional jika kalangan masyarakat tersebut yang menjadi konsumen terbesar BBM untuk kendaraan bermotor. Tentunya yang merupakan konsumen terbesar berasal dari kalangan ekonomi menengah keatas yang memiliki daya beli yang lebih tinggi. Dengan kata lain, terdapat kesalahan sasaran pemberian subsidi tersebut. Data Susenas terakhir menunjukkan 82% dari subsidi jatuh kepada kelompok 60% pendapatan teratas dan sisanya hanya 17% subsidi tersebut hanya jatuh kepada kelompok 40% terbawah. Dalam hal ini jelas terlihat bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah memiliki “dua mata pedang” dimana di satu sisi menguntungkan namun disisi lain terdapat situasi mubazir anggaran karena ternyata yang menikmati subsidi yang diberikan pemerintah tersebut lebih banyak jatuh di tangan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih tinggi yakni masyarakat yang membeli BBM untuk kendaraan bermotor. Pemerintah pun akhirnya mengurangi subsidi dan menggantikannya dengan kebijakan lain.
Dengan mengurangi subsidi, dengan harapan harga minyak Indonesia sama dengan asumsi dalam RAPBN pada tahun sebelumnya, perhitungan sementara menunjukkan akan terdapat sekitar Rp 20-25 trilyun netto anggaran tambahan (setelah diperhitungkan anggaran tambahan untuk Subsidi Langsung Tunai dan Program-Program Kompensasi Lainnya serta kenaikan gaji pegawai negeri sebesar 20%) yang bisa digunakan untuk keperluan lain. Jadi penghematan ini bisa digunakan untuk kegiatan yang lebih produktif seperti yang dicantumkan Rencana Kerja Tahunan yang akan datang yaitu program penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar khusunya infrastruktur pedesaan, pertanian dan pertahanan keamanan.
Bagaimanakah dampak dari pemberian subsidi terhadap perekonomian secara keseluruhan. Dengan mengganggap bahwa pemerintah membiarkan pajak konstan, maka akan terdapat kenaikan konsumsi pemerintah (G) untuk membiayai pengeluaran subsidi. Karena pajak tetap namun pengeluaran pemerintah bertambah, maka akan terjadi budget deficit yang mengakibatkan tabungan pemerintah turun. Budget deficit tersebut dibiayai dari masyarakat dengan cara menaikkan suku bunga bank yang pada akhirnya menyebabkan masyarakat memiliiki preferensi untuk menabung dibandingkan untuk investasi. Dengan kata lain, memang terdapat sisi negatif dari pemberian subsidi yang dilakukan pemerintah dimana pemberian subsidi tersebut menurunkan private investment. Namun pertanyaan lain yang muncul adalah apakah penghentian pemberian subsidi berarti akan terjadi perbaikan perekonomian? Memang kebijakan selalu berupa “pedang bermata dua”;-)