Selasa, 30 Desember 2008
Berjalan atau Berlari (?)
Terkadang saat akan melakukan sesuatu, ada desakan dalam hati untuk mengatakan ”nanti saja”, ”besok saja”, ”kapan-kapan saja”, atau apapun yang sejenis. Ada kalanya desakan itu terealisasi dan datang dalam bentuk penyesalan. Kenapa nanti? Kenapa besok? Kenapa kapan-kapan? Mereka bilang kegagalan adalah pembelajaran. Saya tidak mau gagal tapi saya mau belajar. Bahkan pepatah pun berteriak ”jangan tunggu sampai besok apa yang dapat kau kerjakan hari ini”. Saya bisa menyalahkan waktu kalau apa yang dapat saya kerjakan hari ini, saya realisasikan besok. Tapi saya akan menyalahkan diri saya sendiri kalau apa yang seharusnya dapat saya kerjakan besok tidak terealisasi karena besok saya harus mengerjakan yang seharusnya saya kerjakan hari ini. Saya tidak mau bibir dan hati ini berucap, ”Seharusnya saya yang menempati jabatan itu...” atau ” Seharusnya saya yang menjadi pasangan gadis itu...” atau yang paling buruk ”Andai dulu saya lebih serius merencanakan masa depan...”.
Saya tidak ingin merasa sedang menunggu padahal saya sudah tertinggal. Saya tidak ingin merasa menemukan sesuatu yang baru padahal mereka sudah lebih dulu. Mereka menggoyangkan kaki menapaki tanah saat saya menggoyangkan kaki diatas kursi. Saya ingin bertemu dengan si individu yang menyatakan ”waktu terus berjalan”. Kenapa berjalan? Disaat yang lain mengatakan time is running out. Berlari!!! Tidak aneh kalau ”besok saja” dan kawan-kawan sering terucap karena merasa tidak harus mengejar. Tidak aneh kalau ada saat-saat ketinggalan.
Saya ingin menjadi sepasang sepatu bagi waktu yang sedang berlari bukan pemandangan bagi waktu yang ternyata tak pernah berjalan...
Comment(s) via Facebook.com
INTERMEZO
Saya masih ingat bagaimana masa-masa kecil saya dan saudara-saudara saya. Semua berjalan sangat indah walaupun kami tidak tahu bagaimana menerbangkan layangan, memainkan kelereng atau semacamnya karena kami tidak merasa tertarik dengan itu. Saya beruntung dibesarkan ditengah keluarga yang hangat. Saudara-saudara yang begitu bersahabat. Kedua orang tua saya adalah penghuni kantor “from ten to five”. Meskipun demikian, saya masih punya “from five to ten” dari sepasang manusia super ini. Jadi, maaf kalau saya tidak pernah merasakan apa yang mereka sebut dengan “korban orangtua workoholic”. Tak berlebihan kalau saya menggunakan kata “beruntung” untuk diri saya sendiri. Begitu cepat waktu berlalu. Saya masih ingat bagaimana reaksi keluarga saya saat pertama kali suara saya berubah menjadi besar sedikit bass. Saya pun sebenarnya bingung saat itu. Pernah saya menemukan kembali celana pendek kecil berwarna biru. Tersenyum kecil, bergumam…ya, saya pernah memakainya dulu sekali sewaktu playgroup jauh sebelum bulu-bulu ini memenuhi paha sampai mata kaki. Banyak hal telah berubah. Rambut ini pernah klimis sewaktu Sekolah Dasar. Sekarang untuk menurunkan rambut yang melawan gravitasi ini saja sulit rasanya. Dulu ketika saya kecil, saya ingin cepat besar. Saya pernah sangat senang saat usia saya melebihi sepuluh, tak terasa itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Meskipun saya tidak ingin kembali menjadi kecil, saya merindukan masa-masa itu. Lihat sekarang, untuk berkumpul bersama sangat susah mencari waktu. Ruang keluarga sudah jarang terisi penuh.
Semakin hari semakin banyak yang saya pelajari. Hidup itu waktu. Rambut yang memenuhi muka akan terus tumbuh meski setiap pagi dicukur. Saya akan meninggalkan dan juga ditinggalkan. Ya Tuhan, hidup itu seperti steak. Sayang ditelan sebelum puas mengunyah meskipun akan kenyang. Saya belum ingin kenyang dengan hidup. Saya masih ingin merasakan kaldu setiap kali mengunyah perjalanan hidup saya. Tidak masalah kalau lidah saya tergigit karena saya akan berhenti sejenak untuk kembali lagi. Ya Tuhan, saya tidak ingin hidup selalu berharap, saya ingin menjadi harapan. Saya takut ”mengecewakan” melebihi takut saya dengan ”dikecewakan”. Saya ingin tersenyum dengan masa depan. Sudah siapkah saya dengan masa depan? Apa dan dimana saya tidak lama lagi? Saya tahu bahwa lelaki dipandang dari pekerjaannya, bukan dari film yang ditontonnya. Jika tiba saatnya, saya ingin memiliki pekerjaan yang terencana kalau memang benar pekerjaan adalah harga diri bagi lelaki. Bahkan jika saya berpendapat bahwa pekerjaan dan harga diri menempati koridor yang berbeda. Saya terkadang bersyukur menjadi pribadi yang memikirkan ini. Saya pun tidak memungkiri kalau saya merindukan masa-masa saya tidak memikirkan ini semua. Masa kecil saya. Tidak berarti saya menolak proses pendewasaan. Ya Tuhan, banyak yang ingin saya utarakan antara kita berdua...
Comment(s) via Facebook.com
Semakin hari semakin banyak yang saya pelajari. Hidup itu waktu. Rambut yang memenuhi muka akan terus tumbuh meski setiap pagi dicukur. Saya akan meninggalkan dan juga ditinggalkan. Ya Tuhan, hidup itu seperti steak. Sayang ditelan sebelum puas mengunyah meskipun akan kenyang. Saya belum ingin kenyang dengan hidup. Saya masih ingin merasakan kaldu setiap kali mengunyah perjalanan hidup saya. Tidak masalah kalau lidah saya tergigit karena saya akan berhenti sejenak untuk kembali lagi. Ya Tuhan, saya tidak ingin hidup selalu berharap, saya ingin menjadi harapan. Saya takut ”mengecewakan” melebihi takut saya dengan ”dikecewakan”. Saya ingin tersenyum dengan masa depan. Sudah siapkah saya dengan masa depan? Apa dan dimana saya tidak lama lagi? Saya tahu bahwa lelaki dipandang dari pekerjaannya, bukan dari film yang ditontonnya. Jika tiba saatnya, saya ingin memiliki pekerjaan yang terencana kalau memang benar pekerjaan adalah harga diri bagi lelaki. Bahkan jika saya berpendapat bahwa pekerjaan dan harga diri menempati koridor yang berbeda. Saya terkadang bersyukur menjadi pribadi yang memikirkan ini. Saya pun tidak memungkiri kalau saya merindukan masa-masa saya tidak memikirkan ini semua. Masa kecil saya. Tidak berarti saya menolak proses pendewasaan. Ya Tuhan, banyak yang ingin saya utarakan antara kita berdua...
Comment(s) via Facebook.com
Langganan:
Postingan (Atom)