Sabtu, 23 Mei 2009
Mahasiswa & Karyawan Mr. Burger
Kuliah saya hari ini sudah selesai sejak jam 13.30 WIB dan mungkin ini saatnya pulang bagi saya. Bukan mungkin, tapi harus karena langit sudah sangat gelap sewaktu saya keluar dari ruang perpustakaan FEB UGM. Saya sedikit jengkel jika dalam perjalanan pulang dari kampus terdapat bonus air hujan dari langit. Oleh sebab itu saya memutuskan untuk segera pulang. Lagipula jam tangan saya menunjukkan pukul 15.26 WIB dan perpustakaan akan tutup tepat pukul 16.00 WIB. Apalah guna sisa waktu 34 menit bagi saya yang tidak sepenuhnya berkonsentrasi pada bahan bacaan saya. Di perjalanan pulang saya dari kampus, rintik-rintik air sudah terasa menyentuh tangan saya. Beberapa juga hinggap di kaca penutup helm saya. Saya juga sudah bisa menebak kalau 100 meter lagi saya harus berteduh karena gerimis mungkin akan berubah menjadi hujan deras. Benar saja, saya sudah berdiri di depan minimarket “INDOMARET” di Jalan Kaliurang Km.5.5 Yogyakarta saat hujan sudah sangat deras.
Lima belas menit pertama, kaki saya masih sanggup menopang berat badan ditambah tas yang terisi penuh ditambah helm besar di kepala saya. Tetapi hujan semakin deras dan sepertinya “berdiri” bukan opsi terpilih dari pertanyaan “Apa yang saya lakukan disaat saya menunggu hujan berhenti?”.Tepat di sebelah saya terdapat sebuah kursi plastik merah milik sebuah (mungkin namanya gerai atau gerobak atau apalah) fastfood berlogo Mr.Burger yang beroperasi di depan mimimarket tersebut. Saya meminta izin kepada karyawan pria Mr.Burger untuk menggunakan kursi itu. Izin diterima.
“Kuliah, Mas?”, karyawan itu bertanya. “Iya.”, jawab saya. “Sudah ada planning?”, tanya karyawan itu lagi. Saya agak kaget dengan kata “planning” yang diucapkan karyawan tersebut. Tidak bermaksud menerendahkan, namun bagi saya kata itu terdengar intelek untuk diucapkan oleh seorang karyawan sebuah gerai kecil makanan cepat saji. Mungkin saya saja yang terlalu berlebihan. Menjawab pertanyaan mengenai planning tadi, saya mengatakan kalau saya sudah punya beberapa gambaran dan semoga saja semuanya terwujud. Sebelumnya saya tidak berfikir bahwa ini menjadi suatu conversation sampai saya mendengar karyawan tersebut berkata, “Saya tidak pernah membayangkan saya akan berakhir sebagai karyawan seperti ini.”. Mendengar itu, sontak rasa penasaran saya timbul. Kemudian conversation pun berlanjut begitu saja.
Terakhir saya mengetahui nama karyawan itu adalah Rudi (atau Rudy). Setelah saya bertanya mengenai maksud dari Saudara Rudi itu mengatakan mengenai ucapannya tadi, dia pun menjelaskan panjang lebar. Dia mengatakan bahwa bulan ini adalah bulan kedua dia bekerja sebagai karyawan Mr.Burger. Sebelumnya dia bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan produsen suku cadang sepeda motor Yamaha bernama PT. KYOWA di Bekasi. Imbas krisis perekonomian global membawa dia dan sekitar 2000 karyawan di perusahaan itu menjadi pengangguran dadakan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dialaminya membawanya menjadi seorang karyawan merangkap juru masak di gerai kecil makanan cepat saji tersebut. Saya dapat membayangkan bagaimana kehidupan seorang karyawan perusahaan besar berubah 180 derajat saat nasib menempatkannya pada posisi yang “tidak pernah dibayangkan sebelumnya”. Saudara Rudi yang merupakan tamatan STM ini harus bisa menyambung hidup dengan bekerja jauh dari bidang yang digeluti sebelumnya. Kisahnya, sebelum menjadi karyawan PT. KYOWA, dia mulai bekerja sebagai mekanik. Rezeki membawanya menjadi karyawan dengan status “karyawan kontrak” di perusahaan suku cadang sepeda motor di daerah Bekasi. Empat tahun lamanya dia berkontribusi di perusahaan tersebut sebelum perusahaan terpaksa melepasnya untuk “pengencangan ikat pinggang” perusahaan sebagai bentuk minimizing cost dalam menghadapi krisis keuangan global. Empat tahun bekerja di satu perusahaan cukup menggambarkan loyalitasnya sebagai karyawan mengingat bahwa dia berstatus karyawan kontrak. Kekalahan seleksi alam membawanya kembali ke Yogyakarta dan beruntung dia masih bisa mendapatkan pekerjaan di Mr.Burger. Gaji yang jauh lebih rendah dari gaji sebelumnya cukup membawa dampak besar. “Saya dulu kalau mau beli sesuatu gak pernah lihat label harganya, Mas.”, kisahnya “Sekarang ya suka mikir-mikir dulu sebelum beli.”.
Dia memberitahu bahwa di PT. KYOWA dia memperoleh gaji sebesar Rp.2.000.000,- per bulan belum termasuk lembur. “Sekarang gaji saya Rp.540.000,- per bulannya.”, katanya.
Mungkin anda juga bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang “Saudara Rudi”. Bayangan saya, tidak mudah menerima keadaan dimana pada satu waktu kita berada pada keadaan yang empuk namun di waktu lain keadaan yang terkeras merupakan keadaan terempuk yang harus kita hadapi. Jika kita melihat dari sisi prestige, sungguh jauh lebih prestige bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan Jepang yang merupakan produsen suku cadang sepeda motor Yamaha daripada harus menjadi seorang juru masak sebuah gerai kecil makanan cepat saji. Bayangan saya itu sepertinya tidak jauh berbeda dengan air muka yang saya lihat dari Saudara Rudi.
Dia juga mengatakan bahwa setelah dua tahun bekerja di PT. KYOWA, dia dan temannya memutuskan nyambi membuka CV( Comanditaire Venootschap ) yang bergerak dibidang finishing suku cadang produksi PT. KYOWA. Singkatnya, apa yang dilakukan oleh Saudara Rudi pada saat itu sangat mempunyai prospek. Mungkin inilah apa yang “pernah” dibayangkan olehnya. Pemutusan Hubungan Kerja bukan satu satu nya “tangga” yang menimpanya. CV yang dibangunnya gulung tikar karena putus kerjasama dengan PT.KYOWA.
Pembicaraan kami terhenti sejenak saat seorang wanita memesan sebuah beef burger di gerai itu. Saudara Rudi dengan segera mulai mengolah pesanan si pembeli. Saat itu saya masih sempat terfikir bagaimana cara Saudara Rudi menerima keadaan seperti ini. Bagi saya yang notabene adalah seorang mahasiswa yang mulai dari outfit sampai isi perut berasal dari uang orang tua saja terkadang pusing memikirkan berjuta-juta mimpi di hari esok. Bagaimana pula dengan Saudara Rudi yang telah menggenggam mimpi nya namun dirampas secara paksa oleh keadaan. Mungkin bagi sebagian orang gaji sebesar Rp.2.000.000,- per bulan adalah bentuk riil dari gaya hidup selama beberapa hari. Namun bagi Saudara Rudi, uang sebesar ini adalah sigma gaji selama kurang lebih empat bulan. Masih beruntung Mr.Burger memberikan gaji tidak berdasar omzet per gerai melainkan dengan besaran tetap per bulannya. Dengan jam kerja kurang lebih delapan jam per hari, tentunya uang sebesar ini masih terasa kecil. Pesanan pun selesai dan si pembeli (yang merupakan satu-satunya pembeli selama saya disana) menyerahkan selembar uang lima ribu dan dua lembar uang seribuan.
Saudara Rudi juga bercerita bahwa dia mempunyai seorang sepupu yang mempunyai jabatan penting di sebuah perusahaan lain yang juga bergerak dalam produksi suku cadang sepeda motor. Namun ini sama sekali tidak mendatangkan pengaruh kepadanya. Bahkan jika politik Nepotisme menjadi Survive Exit terakhir, keadaan perekonomian dunia yang bergejolak belum mengizinkannya untuk menjadi salah satu bagian di perusahaan tersebut. Mungkin kita berfikir bahwa Channeling dan Backing akan menempatkan kita pada Comfort Zone dan Certainty yang siap ditagih pada waktu tertentu. Saya jadi teringat dengan satu ungkapan yang mengatakan bahwa satu satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri.
Tanpa maksud menggurui, saya berkata pada Saudara Rudi bahwa semua yang kita terima pada dasarnya adalah rezeki. Bekerja di Mr.Burger mungkin bukan rezeki bagi dia. Namun bagi pelamar lain yang dia kalahkan untuk mendapatkan pekerjaan ini, pasti berpendapat bahwa dia adalah orang yang “berezeki”. Bukan berarti saya juga mudah dalam menerima suatu keadaan terpuruk. Saya juga sebenarnya baru tersadar bahwa untuk bersyukur, kita harus bisa flexible menempatkan diri kita pada posisi yang appropriate dengan kadar rezeki yang kita terima. Bukan pula berarti kita melepaskan effort untuk rezeki terbesar melainkan meyakini bahwa skenario terburuk tidak selamanya buruk.
Pembicaraan pun bercabang ke arah pemilihan presiden, pemanfaatan SDM yang tidak maksimal di Indonesia, sampai mengenai franchising. Tidak terasa saya berbincang-bincang selama kurang lebih dua jam. Hujan pun sudah mulai berhenti. Saya menjabat tangan Saudara Rudi dan mengatakan semoga dia sukses dengan segala usaha yang dijalaninya. Semoga dia juga mengatakan hal yang sama di dalam hatinya. Saya pun bergegas mengendarai motor saya. Ternyata hujan dalam perjalanan pulang dari kuliah tidak selamanya menjengkelkan. Hujan kali ini cukup memberikan saya pelajaran berharga. Mungkin lain kali saya pulang kuliah di saat hujan saja. Bercanda.
Comment(s) via Facebook.com